Kopi, Selekat Candu dan Perannya


Kopi, Selekat Candu dan Perannya


Tak ingat jelas kapan aku mulai minum kopi dan menjadikannya bagian dari keseharian yang hampir tak lepas. Hanya yang jelas, aku yakin aku minum bukan karena menyukainya sejak awal, katakanlah mulanya sebagai usaha untuk menyesuaikan diri agar dapat duduk bersama dengan orang-orang yang usianya lebih dewasa, adalah sikap naif manusia dalam tahap menjelang dewasa pada umumnya aku rasa, berfikir bahwa jika ia akan sendirinya menjadi dewasa jika sudah duduk seperti orang dewasa, berbicara dengan intonasi seperti orang dewasa, berpakaian, makan dan minum seperti cara mereka. Padahal jika saja mereka tahu bahwa orang yang telah benar-benar dewasa tak pernah peduli akan usaha mereka yang memaksakan diri ini, maka usaha-usaha bodoh demi mendapatkan pengakuan dalam rentannya fase pubertas takkan terjadi, mereka akan lebih jujur terhadap dirinya bahwa mungkin mereka belum siap, tidak suka atau bahkan tidak berani melakukan suatu hal. Bahwa bagaimana pun, menjadi dewasa adalah satu hal, gaya hidup dan konsumsi khas dewasa adalah hal yang lain. walau begitu, jika dipikirkan lagi, mungkin kita memang perlu melakukan hal-hal yang bodoh dalam tiap fase hidup. Untuk ditertawakan nanti tentu saja, untuk apa lagi memangnya?.
Maka kopi dalam hal ini hanya satu kasus dari sejumlah usaha bodoh lain demi menuju kedewasaan, meski begitu, usaha menyesuaikan diri meski sedikit berlebihan tak selamanya buruk. Jika kemudian minum kopi dari yang mulanya dimaksudkan sebagai upaya adaptasi konyol beralih menjadi candu, bagiku sendiri bukanlah hal yang perlu disesali, meski jika mengacu pada Englishman in New York, maka aku lebih British, karena sebenarnya lebih nyaman dengan kelatnya seduhan teh ketimbang cita rasa kopi yang tajam. Baiklah, tak lucu.
Lebih dari sekadar jenis minuman, kopi nyatanya adalah sarana, minuman sosial ini dipastikan hadir saat ramainya majelis yang tengah bermufakat dengan perkara-perkara serius, atau saat sendiri berupaya menyulut gagasan di kepala, dan yang paling sering saat suami-suami berkumpul tertawa lepas melupakan amukan bini dan sejumlah beban hidup di kedai kopi. 

Maka dahaga akan kopi bukanlah soal kerongkongan yang kering. Meminumnya sendiri atau berjamaah, kopi memainkan multi perannya merangkap sebagai pelengkap, sebagai syarat dan rukun, penunjang suasana, bahkan sarana eskapisme jika mabuk adalah hal yang dihindari. Usah heran jika kopi kemudian akrab dengan kultur di banyak belahan dunia, mungkin karena strawberry milkshake belum cukup baik memainkan beberapa peranan tersebut sekaligus.
Tapi lepas dari itu semua, kopi tetap saja hanyalah hidangan, pahit-manis romantisme yang ditenggak bersamanya adalah milik manusia yang meminumnya, kopi takkan banyak membantu saat kau berharap dapat tertawa meski jelas-jelas semeja dengan orang yang tak punya selera humor sama sekali, kopi pula tak lantas menjadikan seorang pembual menjadi analis yang bicara berdasar data-data ilmiah. Bukan tak mungkin suatu saat peran kopi akan tergantikan, mungkin saat strawberry milkshake sudah lebih siap, atau ada anjuran departemen kesehatan untuk mengurangi konsumsi kopi karena diyakini berpotensi menyebabkan tukak lambung. Mereka yang benar-benar saban hari duduk di kedai kopi nyatanya tak ambil pusing apakah kopi yang dijerang adalah dari jenis Arabica atau Robusta, premiumkah atau bukan, lebih tak hirau lagi tekhnik roasting apa yang digunakan, mereka hanya peduli bahwa kopi haruslah ada di meja selama mereka duduk, memesan segelas untuk kemudian berlama-lama bercerita dan barulah akan memesan segelas lagi jika muka si pemilik kedai tampak mulai masam, sementara cerita masih asyik untuk dilanjutkan.

Komentar

Postingan Populer