Muqadimah

Muqadimah


Adalah benar jika memanggilnya desau pada angin yang menerbangkan helai-helai ujung rambut, hingga daun-daun pada ujung ranting menari menimbulkan suara gemerisik, sayup terdengarnya di telinga, dan memang itulah desau. Tapi itu deru sebutannya jika hembusnya sudah menjatuhkan dahan-dahan. Orang Melayu lazimnya tak akan menyebut perkara yang sama namun dengan intensitas berbeda dengan kata yang sama, sejelas membedakan hempas dan rebah, seterang mengartikan lari dan tunggang langgang. Maka itu menjawab sebagian pertanyaan mengapa orang Melayu begitu gemar bercerita, dan mengapa pula mereka tampak benar-benar ahli dalam hal tersebut. Tak kalah penting dari sebuah cerita yang elok adalah bagaimana cerita itu diceritakan, urutan kata, istilah yang dipilih serta alurnya yang menarik. Tanpa mengenyam pendidikan sastera, orang Melayu dibesarkan dengan banyak perbendeharaan kata.  Kurang lebih artinya orang Melayu tak pernah berhemat dalam hal kata-kata, dan parahnya sebagian malah seperti tak pernah kehabisan bahkan tak tahu cara berhenti.

Orang Melayu, jika ia dari kalangangan cendikia, cerdik pandai yang geliga isi kepalanya, maka darinya akan lahir karya-karya besar yang kemudian menjadi bahan tela’ah dan rujukan. Atau sepaling tidak, ditunjuk menjadi juru bicara dalam perundingan besar, karena kepiawaannya menyusun kalimat. Maka, yang berada di tingkatan paling rendah adalah orang-orang macam aku yang gemar membual, berceloteh kesana kemari tak habis-habis, dan seringnya membuat pemilik kedai kopi kesal, karena segelas kopi yang dipesan sudah sejak lama habis diminum, sementara belum juga ada tanda-tanda ingin beranjak dari kedainya. Orang tua-tua Melayu mewarisi anaknya dengan adat berbudi bahasa, tingginya budi tercermin oleh eloknya bahasa. Budi dalam berbahasa tak sekedar tutur atau pemilihan kata yang baik dan santun, keindahan bunyi dan suku kata juga menjadi unsur penting dalam penyampaian. Maka karenanya kita mengenal banyak kias, perumpaan dan majas. Maka diwarisilah hikayat, syair, gurindam, bidal dan pantun serta petatah-petitih dalam bentuk yang indah. Keseluruhannya memang lebih banyak tertuang dalam lisan, sedikit saja orang Melayu yang tekun menulis, tak heran bila tutur cerita yang mulanya berkembang lalu diwarisi kemudian hilang, karena sebatas mengandalkan ingatan.

Memulai blog ini kumaksudkan dengan alasan sederhana hanya agar aku tetap menulis, dapat saja nantinya dalam blog ini akan kalian temukan, kawan pembaca sekalian, hal-hal yang mungkin bersifat acak saja, tanpa ada pengkhususan tentang apa yang akan kutulis, bisa berupa ulasan peristiwa melalui sudut pandang-ku tentu saja, atau malah akan lebih banyak cerita-cerita ringan yang tak dapat kujamin kesemuanya menarik.

Selanjutnya, izinkan aku memperkenalkan diri, lahir pada Jum’at 7 Juli 1989, atau dalam almanak Hijriah pada 3 Dzulhijjah 1409, di Pekanbaru, pinggiran Pekanbaru lebih tepatnya, Tebing Tinggi Okura, mengenai kampung halaman dan mengapa dinamai begitu, akan kuceritakan lain kesempatan. Dengan nama yang sudah jauh hari disiapkan ibuku; Riski Ramadani karena yakin bahwa aku akan lahir tepat pada bulan yang amat dimuliakan ummat muslim seluruh muka bumi; Ramadhan. Meski kemudian lahir 2 bulan lebih setelahnya, sepekan jelang Hari Raya Qurban, aku berhutang lebih banyak daripada kebanyakan anak lain pada ibunya, karena ibuku mengandung hampir 12 bulan, bukan 9 bulan. Agaknya begitu juga nasibnya dengan blog ini, yang sedianya sudah di-draft pertengahan Sya’ban agar dapat diterbitkan di bulan Ramadhan dan diberi nama Ramadannycted, namun hingga ujung Syawal belum juga kunjung sudah. Nah, untuk tulisan-tulisanku yang akan datang, semoga kawan-kawan berkenan.

Komentar

Postingan Populer