Pekanbaru, Sedekat Aku Mengenalnya

Pekanbaru Sedekat Aku Mengenalnya


 Jika ingin bertanya ihwal sebuah kota, tanyailah mereka, orang-orang yang pergi merantau jauh, bertahun-tahun lamanya meninggalkan kota tersebut. Mereka mengingatnya dengan baik tiap sudutnya. Mereka yang nyata sekali dari rautnya sedang kepayahan menanggung rindu ini, tanyailah mereka. Tentu saja dari mereka tidak akan didapatkan jawaban-jawaban berdasar angka statistik, mereka tidak punya itu. Mereka akan bercerita tentang cuacanya yang sejuk atau panas tanpa menyebutkan kisaran derajat dalam Celsius atau Farreinheit-nya, kadang malah melebih-lebihkan dengan metafora sekenanya, bahwa saking sejuknya kota mereka, tidak satupun toko elektronik di kota itu yang menjual kulkas atau kipas angin. Atau jika panas, cukup untuk membuat isi kepala menggelegak. Selanjutnya adalah tentang pokok jambu di samping rumah, tempat belajar berenang, halaman belakang sekolah, tempat pertama kali berani mengunggkapkan cinta dan cerita-cerita lain seperti itu, yang tanpa dimintapun dengan senang hati mereka menceritakannya sampai berbusa-busa. Saat terjebak dalam situasi ini, saranku dengarkan saja, mereka sedang menemukan penawar sementara untuk rindu yang entah sudah berapa lama diidap, jika kau faham seperti apa sakitnya menanggung rindu, seharusnya kau mau meluangkan sedikit waktu mendengarkannya. Nah, itulah cara terbaik mereka menterjemahkan kota mereka dalam kata-kata, meski begitu, anehnya semudah itu juga akan dapat kau fahami, bahkan rasakan. Wajah dan bentuk kota bisa berubah, nominal dalam angka statistik bisa berkurang atau bertambah digitnya, cerita mereka bisa saja perlu diperiksa kembali keakuratannya, tapi jika sebuah kota atau tempat memiliki ruh, maka mereka sedang menceritakan ruhnya kepadamu.
Dari kecil aku tak pernah pergi ke tempat yang jauh dalam kurun yang lama, untuk benar-benar mengerti rasanya merindukan dan terkenang rumah seperti para perantau tadi, dera rindu macam itu belum pernah aku rasakan. Ketika harus menceritakan seperti apa kota tempatku tumbuh besar, aku tak yakin dapat menceritakannya dengan baik, sebaik seorang perantau bercerita kota kelahiran atau kampung halamannya. Baiknya aku memulai dari informasi dasar yang kukutip sedikit dari Wikipedia, selebihnya dari apa yang ada di ingatan dan bahan bacaan lainnya. Berada pada ketinggian 5-50 mdpl, dengan suhu terendah berkisar antara 20.2-23.0 ◦C dan maksimal berkisar antara 34.1-35.6 ◦C, cukup panas tentu saja. Namun sedikit ke Utara seperti di kawasan Rumbai sekitarnya, masih terdapat banyak pepohonan dan terasa sedikit lebih sejuk. Meski terbilang panas, Pekanbaru adalah kota yang cukup menyenangkan untuk dihuni, asal tak dibandingkan dengan kota-kota besar Eropa, atau katakanlah yang terdekat saja macam Singapura, maka Pekanbaru boleh dibilang cukup bersih dan tertib.
Dibelah oleh sungai yang cukup besar, Sungai Siak yang muaranya langsung menghadap Selat Melaka nan sibuk. Sungai yang disebut terdalam di Indonesia ini, tiap harinya mengalami pendangkalan, sepanjang alirannya dulu merupakan hutan pun telah beralih menjadi lahan perkebunan. Dan seperti kota-kota lain yang dialiri sungai, kota ini jelas punya cerita dan romantisme sendiri. Sejak mula didirikan, Pekanbaru memang dimaksudkan menjadi kota dagang, penamaan Pekanbaru sendiri berasal dari kata pekan yang juga berarti pasar. Tak heran secara etnografi kota ini kemudian dipenuhi para pedagang Minangkabau yang tangguh, dan memang sudah dikenal akan adat mereka yang lekat sekali dengan merantau dan berniaga. Kemudian para pendatang dari suku-suku lainnya yang juga bermaksud mengadu tuah badan, dengan berdagang hasil bumi dan segala rupa. Jawa, Batak dan juga Tionghoa, dari kota ini hasil bumi kemudian dibawa ke kota-kota yang melewati Selat Melaka. Karena orang Melayu tak mau jauh-jauh dari air, mereka lebih banyak bermukim di sepanjang pesisir Sungai seperti di kawasan Tj. Rhu, Pengambang, Tebing Tinggi Okura, Melobung, Tenayan dan di sekitar Senapelan. Mungkin itu pula jawaban mengapa hampir semua kawasan pesisir di Nusantara didiami oleh puak Melayu, air adalah bagian dari peradaban orang Melayu itu sendiri.
Sejarahnya, adalah Sultan Siak kelima, Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782) yang setelah mangkatnya bergelar Marhum Pekan, sebagai pendiri kota Pekanbaru, melanjutkan usaha ayahnya Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780) yang telah lebih dulu sebelumnya memutuskan untuk memindahkan ibukota kerajaan dari Mempura ke kawasan baru bernama Senapelan, namun usaha ayahandanya membangun kawasan ini tak sepenuhnya berhasil, dengan gigih cita-cita ini kemudian ia teruskan, lalu berdasarkan Musyawarah Dewan Menteri Kesultanan Siak yang terdiri atas Datuk Empat Suku pada 27 Rajab 1204/ 23 Juni 1784, dinamailah kawasan yang mulanya disebut Senapelan ini dengan Pekanbaru, tanggal 23 Juni lalu kemudian diperingati sebagai hari jadi bagi Kota ini.
Perkembangan kota ini terbilang pesat, kami bahkan beruntung punya gedung perpustakaan yang bagus. Gedung pustaka ini dinamai Soeman HS, salah seorang sasterawan dari angkatan Balai Pustaka. Nama-nama budayawan dan dari kalangan cendikia memang banyak dilekatkan sebagai nama gedung-gedung di kota ini, seperti Anjung Seni Idrus Tintin, nama seorang sasterawan yang juga seniman teater ternama yang lalu dilekatkan sebagai nama gedung teater pertunjukan seni, gedung ini dibangun di kompleks Bandar Serai, singkatan dari Bandar Seni Raja Ali Haji, seperti namanya, awalnya memang menjadi tempat berkumpul para budayawan dan seniman, baik kalangan sasterawan, musisi, pekerja teater maupun pecandu seni lainnya, berhimpun bersempit-sempit menikmati kopi sambil berdiskusi tiada habisnya.
Di sudut-sudut gedung di kompleks ini sering dijumpai beberapa pemusik memainkan biola, gambus dan accordion, mengalunkankan notasi melodi Melayu yang khas, kadang dengan degilnya pula diselipi improvisasi jazz hingga menjadi paduan bunyi memukau. Sebelum sebagian tempat ini diratakan dengan tanah untuk rencana pembangunan pusat perbelanjaan yang besar, ada tempat yang suka sekali kukunjungi, Galeri Buku Ibrahim Sattah namanya, nama Ibrahim Sattah dikenang sebagai sasterawan dan juga aktor. Galeri ini tak memiliki kursi, hanya meja dengan kaki rendah, membaca dengan duduk bersila atau berselunjur kaki di atas lantai papannya, bahkan penjaganya tak melarang jika pengunjungnya sampai tertidur saat membaca buku di tempat itu sambil berbaring di lantai papan beralas tikar pandan itu, kalau lazimnya perpustakaan memasang tanda ‘Harap Tenang’ di dindingnya, maka di sini akan kau dapati tanda mencolok bertuliskan ‘Kejahatan Besar Terhadap Buku Adalah Dengan Tidak Membacanya’. Koleksi buku di dalamnya, sebagian merupakan buku yang boleh dibilang langka. Sayangnya, galeri buku itu kini sudah tak ada, meski telah berdiri gedung perpustakaan yang berpuluh kali lipat besarnya, tetap saja galeri buku di sudut Bandar Serai ini tak tergantikan. Nah, aku betul kan? Sesuatu akan tergambar lebih jelas ketika ia jauh ataupun sudah tidak ada, kita bahkan seringnya sampai memaksakan diri untuk kembali mengakses lembar ingatan lama yang tersimpan untuk mengenang kembali hingga detail kecilnya.




Komentar

Postingan Populer